MASJID RAMAH ANAK DAN DIFABEL
Oleh: Kusun Dahari
KHUTBAH PERTAMA
الْحَمْدُ للهِ، اَلْحَمْدُ للهِ الَّذِىْ جَعَلَ الْاِسْلَامَ طَرِيْقًا سَوِيًّا، وَوَعَدَ لِلْمُتَمَسِّكِيْنَ بِهِ وَيَنْهَوْنَ الْفَسَادَ مَكَانًا عَلِيًّا. أَشْهَدُ أَنْ لاَ اِلَهَ اِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لَاشَرِيْكَ لَهُ، شَهَادَةَ مَنْ هُوَ خَيْرٌ مَّقَامًا وَأَحْسَنُ نَدِيًّا. وَأَشْهَدُ أَنَّ سَيِّدَنَا حَمْدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ الْمُتَّصِفُ بِالْمَكَارِمِ كِبَارًا وَصَبِيًّا. اَللَّهُمَّ فَصَلِّ وَسَلِّمْ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ كَانَ صَادِقَ الْوَعْدِ وَكَانَ رَسُوْلاً نَبِيًّا، وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ الَّذِيْنَ يُحْسِنُوْنَ إِسْلاَمَهُمْ وَلَمْ يَفْعَلُوْا شَيْئًا فَرِيًّا،
أَمَّا بَعْدُ، فَيَا أَيُّهَا الْحَاضِرُوْنَ رَحِمَكُمُ اللهُ، اُوْصِيْنِيْ نَفْسِىْ وَإِيَّاكُمْ بِتَقْوَى اللهِ، فَقَدْ فَازَ الْمُتَّقُوْنَ. قَالَ اللهُ تَعَالَى: يَا اَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا اتَّقُوْا اللهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلاَ تَمُوْتُنَّ إِلاَّ وَاَنْتُمْ مُسْلِمُوْنَ
Hadirin jamaah shalat Jum’at yang berbahagia,
Seekor hewan yang memakai banyak perhiasan, tidak berguna dan tidaklah bernilai karena tidak akan dapat mengubah strata, status, ataupun derajatnya di tengah-tengah koloninya. Demikian juga manusia, dengan mempunyai segala kemewahan, jabatan dan kedudukan, tidaklah mengubah derajatnya lebih tinggi dari orang lain, justru boleh jadi mengubah menjadi malapetaka bagi diri dan keluarganya. Hanyalah iman dan takwalah, manusia memperoleh derajat yang mulia karena dengan ketaqwaan tersebut, manusia mempunyai kesadaran tinggi akan tugas dan tanggung jawab sebagai hamba, makhluq individu dan sebagai makhluq sosial.
اِنَّ اَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللّٰهِ اَتْقٰىكُمْ
“Sesungguhnya orang yang lebih mulia disisi Allah adalah orang yang bertaqwa.” (Q.S. Al-Hujurat: 13).
Hadirin jamaah shalat Jum’at yang berbahagia,
Saat ini adalah momentum terbaik bagi umat Islam untuk mewujudkan masjid yang ramah anak dan kaum keterbatasan (disabilitas). Belum banyak masjid yang menyediakan fasilitas-fasilitas yang baik dan layak bagi anak dan disabilitas. Masjid bukanlah hanya untuk kaum dewasa yang sempurna fisiknya, tetapi masjid juga untuk seluruh umat tanpa membedakan status, jabatan, usia dan fisik.
Boleh jadi, ada yang menganggap anak-anak yang ke masjid hanya akan membuat gaduh dan mengganggu kekyusukan ibadah. Sehingga kita melarang anak-anak untuk ke masjid dengan cara membuat imbauan, banyak tulisan yang ditempel di dinding pengumuman.
Ini sangat ironis. Sebab hal ini akan berdampak buruk terhadap anak. Secara tidak langsung kita ikut andil dalam menanamkan mindset (pola pikir) kepada anak untuk tidak boleh ke masjid.
Anak merupakan penerus garis keturunan, pewaris dari generasi ke generasi, pengganti era kepemimpinan, dan pewaris Nabi untuk mengembangkan risalah Islam. Artinya, sejak sedini mungkin mempersiapkan penerus-penerus terbaik untuk melanjutnya kehidupan generasi berikutnya. Maka, pelarangan anak ke masjid adalah kesalahan besar karena tidak mendidik bagi anak sejak dini, ataupun menanamkan pola pikir kepada anak untuk tidak pergi ke masjid karena akan mengganggu jamaah dan kegiatan.
Oleh karena itu, saatnya mendesain masjid untuk anak. Bukan pelarangan ke masjid bagi anak tetapi pengarahan, pengelolaan dan pengaturan masjid yang perlu dibenahi. Misalnya, kitab isa mulai dengan cara membuat taman bermain, taman bacaan anak ataupun fasilitas-fasilitas lain yang menarik bagi anak di halaman masjid yang diawasi khusus oleh petugas masjid. Kita dapat membuat panduan praktis edukasi kepada orang tua tentang ibadah dan penjagaan anak di masjid, sehingga orang tua memahami posisinya sebagai jamaah dan pengasuh bagi anaknya.
Dari Abu Qatadah r.a., ia berkata: “Aku melihat Rasulullah saw menggendong Umamah bintu al Ash, putrinya Zainab bintu Rasulullah, di pundak beliau.”
فَإِذاَ رَكَعَ وَضَعَهَا وَإِذَا رَفَعَ مِنَ السُّجُودِ أَعَادَهَا
“Apabila beliau salat maka ketika rukuk, Rasulullah meletakkan Umamah di lantai, dan apabila bangun dari sujud maka beliau kembali (menggendong Umamah).” (H.R. Muslim).
Pada dasarnya tidak ada larangan anak datang ke masjid untuk mengikuti kegiatan-kegiatan yang ada, tetapi kondusifitas dan kenyamanan suasana masjid yang harus dijaga. Pada posisi ini peran aktif orang tua sangat berpengaruh. Penjagaan anak oleh masing-masing orang tua diperhatikan dan tidak dibiarkan saja. Kegaduhan-kegaduhan anak yang ada di masjid bisa diminimalkan seiring dibantu kepengawasan dari pengelola/takmir masjid yang khusus mengawasi anak-anak. Termasuk teknis pengaturan anak-anak dalam salat, maka perlu edukasi kepada jamaah, baik dalam imbauan suara, teks berjalan, pamflet/leaflet, diterbitkan buku panduan praktis semacam buku fikih masjid untuk anak.
Hadirin jamaah shalat Jum’at yang berbahagia,
Demikian juga, jika bertemu dengan kaum disabilitas ke masjid (menurut Biro Pusat Statistik, sekitar 5% atau 22,5 juta penyandang disabilitas di Indonesia) banyak yang acuh dan tidak memberikan akses yang layak, bahkan enggan bersanding dengan jamaah disabilitas. Ini pun sangat ironis, dimana mereka datang dengan kesadaran dan usaha yang tinggi untuk bisa ikut kegiatan di masjid, namun kurang diperhatikan hak-hak yang seharusnya sangat diperhatikan. Padahal, doktrin agama mengajarkan kepada kita bahwa Allah Swt. tidak memandang wujud fisik kita, namun lebih kepada hati dan perbuatan kita. Sebagaimana diriwayatkan dalam sebuah hadis:
إِنَّ اللَّهَ لاَ يَنْظُرُ إِلَى صُوَرِكُمْ وَأَمْوَالِكُمْ وَلَكِنْ يَنْظُرُ إِلَى قُلُوبِكُمْ وَأَعْمَالِكُمْ
“Sesungguhnya Allah tidak melihat fisik dan harta kalian tetapi Ia melihat hati dan amal kalian.” (H.R. Muslim)
Hadirin jamaah shalat Jum’at yang berbahagia,
Penyandang disabilitas/difabel/berkebutuhan khusus diabadikan dalam Al-Qur’an yang disebut adh-du’afa (Q.S. At-Taubah/9: 91) yang dapat diartikan lemah dan tak berdaya. Disabilitas disebut pula uludh dharar (Q.S. An-Nisa/4: 95) yang dapat dimaknai orang yang mempunyai kekurangan manfaatan. Di samping ada konotasi-konotasi lain seperti a’ma (tuna netra), bukmun (tuna wicara), a’raj (cacat fisik), dan sebagainya, penyebutan ini bagian dari perhatian totalitas atas kepedulian bagi disabilitas yang merupakan bagian penting dari ajaran Islam yang meniadakan segala bentuk diskriminasi.
Rasulullah saw. sangat peduli, memperhatikan dan memberikan kesempatan kepada penyandang disabilitas/difabel untuk mengabdi dan berbuat sesuatu yang terbaik. Misalkan Amr bin al-Jamuh, disabilitas kaki yang awalnya dilarang rasul untuk ikut perang, karena Allah Swt. sudah memaafkannya dan tidak ada kewajiban perang baginya. Namun, karena desakan Amr bin al-Jamuh yang bersemangat untuk ikut berperang, akhirnya Rasulullah saw. mengizinkan ikut perang Uhud.
Abdullah bin Mas’ud, seorang stunting, bertubuh kurus kecil. Sahabat setia Rasulullah saw. yang sangat tekun menimba ilmu hingga menjadi mufasir handal di kalangan sahabat. Sekalipun tidak ada kewajiban ikut perang karena kondisi tubuh yang kecil dan kurus, namun Abdullah bin Mas’ud ikut perang Badar yang membawa kemenangan Islam luar biasa.
Tak kalah hebat juga, Abdullah bin Ummi Maktum, penyandang tuna netra yang menyelinap ikut berperang dengan menghambur-hamburkan pasir untuk menghalangi pandangan musuh. Dan Rasulullah saw. memberikan kepercayaan penuh untuk menjadi muadzin tetap ketika salat subuh yang sebelumnya didahului adzannya Bilal bin Raba’ah sebagai tanda salat tahajud sepertiga malam terakhir.
Masih banyak sahabat Rasulullah saw. yang mengalami cacat fisik, terutama pasca peperangan. Hal ini menunjukkan Rasulullah saw. memberikan apresiasi kepada penyandang disabilitas dan mendapat kepercayaan-kepercayaan tersendiri dari rasul.
Oleh karena itu, benang merahnya adalah masjid-masjid yang ada saat ini harus mengakomodasi kondisi seluruh jamaah termasuk ramah terhadap penyandang difabel. Sehingga masjid menjadi simbol penyatuan umat tanpa membedakan kelas atau status karena kemuliaan seseorang tidaklah dilihat dari kesempurnaan fisik tetapi kesadaran dan semangat berusaha untuk menjadi yang terbaik. Masjid yang memerdekakan semua umat tanpa memandang dan merendahkan jabatan, status, fisik dan sebagainya.
Hadirin jamaah shalat Jum’at yang berbahagia,
Untuk menjalankan amanat Undang-undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang disabilitas, maka seyogyanya pengurus masjid membuat program masjid ramah penyandang difabel. Paling tidak ada empat hal. Pertama, pemerintah menyediakan sarana difabel di masjid-masjid, dan peran masyarakat turut ambil peran aktif untuk penyediaan/alat/sarana bagi difabel, misalnya kursi roda, tempat wudu, akses jalan masuk, dan lain-lain. Kedua, organisasi-organiasi masjid harus berperan aktif dalam memberikan edukasi kepada masjid-masjid yang ramah difabel.
Ketiga, komitmen kuat pengelola/pengurus/takmir masjid untuk melayani dan berkhidmah kepada jamaah tanpa pembedaan dan mampu mewujudkan layanan khusus ibadah bagi anak-anak dan kaum difabel. Keempat, peran media cetak dan elektronik serta media sosial yang berperan aktif menyuarakan akan hak-hak kaum difabel dalam pelayanan di masyarakat, dengan harapan masjid-masjid menyediakan layanan khusus, baik sarana dan prasarana.
Syekh Ali As-Shabuni dalam Tafsir Ayatul Ahkam, menafasirkan Q.S. An-Nuur/24: 61 tentang difabel buta, pincang ataupun orang sakit, bahwa:
لَيْسَ عَلَى أَهْلِ الْأَعْذَارِ وَلَا عَلَى ذَوِي الْعَاهَاتِ (الْأَعْمَى وَالْأَعْرَجِ وَالْمَرِيضِ) حَرَجٌ أَنْ يَأْكُلُوا مَعَ الْأَصِحَّاءِ، فَإِنَّ الله تَعَالَى يَكْرَهُ الكِبْرَ وَالْمُتَكَبِّرِينَ وَيُحِبُّ مِنْ عِبَادِهِ التَّوَاضُعَ
“Tidak ada dosa bagi orang-orang yang punya uzur dan keterbatasan (tunanetra, pincang, sakit) untuk makan bersama orang-orang yang normal, sebab Allah Swt membenci kesombongan dan orang-orang sombong dan menyukai kerendah-hatian dari para hamba-Nya”
Dengan demikian, masjid yang ramah anak dan difabel akan menjadi percontohan bagi fasilitas-fasilitas publik lainnya dalam mengelola dan pemenuhan hak-hak untuk anak dan difabel. Dan masjid mampu hadir sebagai tempat yang aman, nyaman, pemersatu umat tanpa ada diskriminasi. Mudah-mudahan khutbah ini menjadi inspirasi untuk membangkitkan kesadaran kita bersama, bahwa melayani, khidmah kepada jamaah pada semua tingkatan merupakan perbuatan yang sangat mulia.
بَارَكَ اللّٰهُ لِيْ وَلَكُمْ فِي الْقُرْاٰنِ الْعَظِيْمِ وَنَفَعَنِي وَاِيَّاكُمْ بِمَا فِيْهِ مِنَ الْاٰيَاتِ وَالذِّكْرِ الْحَكِيْمِ وَتَقَبَّلَ مِنِّيْ وَمِنْكُمْ تِلَاوَتَهُ اِنَّهُ هُوَ السَّمِيْعُ الْعَلِيْمُ. وَأَسْتَغْفِرُ اللّٰهَ الْعَظِيْمَ لِيْ وَلَكُمْ وَلِسَائِرِ الْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ فَيَا فَوْزَ الْمُسْتَغْفِرِيْنَ وَيَا نَجَاةَ التَّائِبِيْنَ
KHUTBAH KEDUA
اَلْحَمْدُ لِلّٰهِ الَّذِيْ أَنْعَمَنَا بِنِعْمَةِ الْاِيْمَانِ وَالْاِسْلَامِ. وَالصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ عَلٰى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ خَيْرِ الْأَنَامِ. وَعَلٰى اٰلِهِ وَأَصْحَابِهِ الْكِرَامِ. أَشْهَدُ اَنْ لَا اِلٰهَ اِلَّا اللّٰهُ الْمَلِكُ الْقُدُّوْسُ السَّلَامُ وَأَشْهَدُ اَنَّ سَيِّدَنَا وَحَبِيْبَنَا مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ صَاحِبُ الشَّرَفِ وَالْإِحْتِرَامِ. أَمَّا بَعْدُ.
فَيَاأَيُّهَا النَّاسُ أُوْصِيْكُمْ وَنَفْسِيْ بِتَقْوَى اللّٰهِ فَقَدْ فَازَ الْمُتَّقُوْنَ. فَقَالَ اللّٰهُ تَعَالَى اِنَّ اللّٰهَ وَ مَلَآئِكَتَهُ يُصَلُّوْنَ عَلَى النَّبِيِّ يٰأَيُّهَا الَّذِيْنَ أٰمَنُوْا صَلُّوْا عَلَيْهِ وَ سَلِّمُوْا تَسْلِيْمًا. اَللّٰهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ عَلٰى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَ عَلٰى أٰلِ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلٰى سَيِّدِنَا اِبْرَاهِيْمَ وَعَلٰى اٰلِ سَيِّدِنَا اِبْرَاهِيْمَ وَبَارِكْ عَلٰى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلٰى اٰلِ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلٰى سَيِّدِنَا اِبْرَاهِيْمَ وَعَلٰى اٰلِ سَيِّدِنَا اِبْرَاهِيْمَ فْي الْعَالَمِيْنَ. اِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ. اَللّٰهُمَّ وَارْضَ عَنِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ. وَعَنْ اَصْحَابِ نَبِيِّكَ اَجْمَعِيْنَ. وَالتَّابِعِبْنَ وَتَابِعِ التَّابِعِيْنَ وَ تَابِعِهِمْ بِإِحْسَانٍ اِلٰى يَوْمِ الدِّيْنِ.
اَللّٰهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ وَالْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ. اَللّٰهُمَّ ادْفَعْ عَنَّا الْغَلَاءَ وَالْوَبَاءَ وَالطَّاعُوْنَ وَالْاَمْرَاضَ وَالْفِتَنَ مَا لَا يَدْفَعُهُ غَيْرُكَ عَنْ بَلَدِنَا هٰذَا اِنْدُوْنِيْسِيَّا خَاصَّةً وَعَنْ سَائِرِ بِلَادِ الْمُسْلِمِيْنَ عَامَّةً يَا رَبَّ الْعَالَمِيْنَ. اَللَّهُمَّ أَصْلِحْ وُلَاةَ أُمُوْرِنَا، اَللّٰهُمَّ وَفِّقْهُمْ لِمَا فِيْهِ صَلَاحُهُمْ وَصَلَاحُ اْلإِسْلَامِ وَالْمُسْلِمِيْنَ، اَللّٰهُمَّ أَعِنْهُمْ عَلَى الْقِيَامِ بِمَهَامِهِمْ كَمَا أَمَرْتَهُمْ يَا رَبَّ الْعَالَمِيْنَ.
اَللّٰهُمَّ أَبْعِدْ عَنْهُمْ بِطَانَةَ السُّوْءِ وَالْمُفْسِدِيْنَ وَقَرِّبْ إِلَيْهِمْ أَهْلَ الْخَيْرِ وَالنَّاصِحِيْنَ يَا رَبَّ الْعَالَمِيْنَ. رَبَّنَا اٰتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَ فِي الْاٰخِرَةِ حَسَنَةً وَ قِنَا عَذَابَ النَّارِ.
عِبَادَ اللّٰهِ اِنَّ اللّٰهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْاِحْسَانِ وَيَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ. يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ. فَاذْكُرُوا اللّٰهَ الْعَظِيْمَ يَذْكُرْكُمْ. وَ اشْكُرُوْهُ عَلٰى نِعَمِهِ يَزِدْكُمْ. وَلَذِكْرُ اللّٰهِ اَكْبَرُ
Jika Anda membutuhkan sitasi pada Buku Digital ini, silahkan generate secara otomatis menjadi format APA, MLA, IEEE, Chicago, Harvard, dan Turabian.
Support kami dengan komentar positif dan ulasan yang membangun.
* Anda Wajib login Untuk Menulis Komentar/Review.